Disabilitas Sensorik: Memahami Netra, Rungu, dan Wicara
Disabilitas sensorik adalah kondisi yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam merasakan atau memproses informasi melalui pancainderanya. Kondisi ini terjadi akibat gangguan pada satu atau lebih fungsi pancaindra, seperti penglihatan, pendengaran, dan bicara. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang tiga jenis disabilitas sensorik utama, yaitu disabilitas netra (tunatetra), disabilitas rungu (tunarungu), dan disabilitas wicara (tunawicara).
Disabilitas Netra (Tunanetra)
Disabilitas netra atau tunanetra adalah kondisi di mana seseorang mengalami gangguan penglihatan akibat kerusakan pada mata atau organ lain yang mendukung proses melihat. Kerusakan ini dapat terjadi secara anatomis maupun fisiologis. Seseorang dengan disabilitas netra memiliki akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau sama sekali tidak memiliki daya penglihatan.
Ada dua jenis disabilitas netra, yaitu:
Low vision (kurang awas): Orang dengan low vision masih dapat melihat sedikit atau membedakan antara gelap dan terang.
Blind (buta): Orang dengan disabilitas blind tidak memiliki penglihatan dan tidak dapat membedakan gelap dan terang.
Penyebab disabilitas netra bisa beragam, seperti kecelakaan, cedera pada mata, genetik, atau penyakit seperti diabetes, glaukoma, atau degenerasi makula.
Ciri-ciri umum penyandang tunanetra meliputi:
Ketajaman penglihatan yang rendah
Kekeruhan pada lensa mata atau adanya cairan tertentu
Posisi mata yang sulit dikendalikan oleh saraf otak
Kerusakan pada susunan saraf otak yang berhubungan dengan penglihatan
Disabilitas Rungu (Tunanerungu)
Disabilitas rungu atau tunarungu adalah kondisi di mana seseorang mengalami hambatan atau gangguan pada organ pendengaran, sehingga mengalami kehilangan pendengaran atau pendengarannya terganggu. Ada dua kategori tunarungu, yaitu:
Tuli (deaf): Orang dengan disabilitas tuli tidak mampu mendengar dan mengalami kesulitan dalam memproses informasi verbal melalui pendengaran. Mereka memiliki bahasa isyarat sebagai bahasa ibu untuk berkomunikasi.
Kurang dengar (hard of hearing): Orang dengan disabilitas kurang dengar masih memiliki sisa pendengaran dan dapat menerima informasi dengan bantuan alat bantu dengar.
Disabilitas Wicara (Tunawicara)
Disabilitas wicara atau tunawicara (bisu) adalah kondisi di mana seseorang mengalami hambatan atau gangguan dalam berbicara, sehingga sulit melakukan komunikasi verbal.
Tunawicara bukan berarti seseorang tidak bisa berbicara sama sekali. Ini adalah gangguan atau hambatan yang menyebabkan seseorang mengalami kelainan dalam pengucapan atau artikulasi bahasa maupun suara.
Penyebab disabilitas wicara bisa disebabkan oleh kurang atau tidak berfungsinya organ-organ yang terlibat dalam berbicara, seperti rongga mulut, lidah, dan pita suara. Selain itu, masalah pertumbuhan janin atau masalah kesehatan setelah lahir, seperti infeksi pada selaput otak, juga dapat menyebabkan disabilitas wicara.
Ciri-ciri umum penyandang tunawicara meliputi:
Kesulitan berbicara dengan jelas
Suara melengking
Mengulangi atau memperpanjang suara
Menciptakan Lingkungan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas Sensorik
Memahami disabilitas sensorik sangat penting untuk membangun empati dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua orang. Dengan memahami kondisi dan kebutuhan mereka, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas sensorik:
Meningkatkan kesadaran dan edukasi: Edukasi tentang disabilitas sensorik kepada masyarakat luas dapat meningkatkan pemahaman dan empati terhadap mereka.
Menerapkan prinsip aksesibilitas: Membangun fasilitas umum yang ramah disabilitas, seperti ramp, lift, dan fasilitas penunjuk arah yang mudah dipahami.
Memberikan kesempatan yang sama: Memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas sensorik untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
Menggunakan bahasa yang ramah: Hindari menggunakan istilah yang merendahkan atau diskriminatif. Gunakan bahasa yang inklusif dan menghormati martabat penyandang disabilitas sensorik.
Dengan membangun rasa empati, memahami kebutuhan mereka, dan menciptakan lingkungan yang inklusif, kita dapat membantu mereka untuk hidup dengan lebih mandiri, berpartisipasi aktif dalam masyarakat, dan mencapai potensi terbaik mereka.