:strip_exif():quality(75)/medias/1962/cd2e50cc7c335bce92f2d0bf5539bf80.jpeg)
Pernahkah kamu menonton Instagram Stories milikmu sendiri berulang kali sebelum akhirnya hilang dalam 24 jam? Kamu bukan sendirian! Banyak orang, termasuk para kreator konten, mengaku melakukan hal yang sama.
Self-Stalking: Fenomena Menonton Ulang Konten Diri Sendiri
Fenomena ini dikenal dengan istilah "self-stalking," yaitu kebiasaan menonton ulang konten yang kita unggah di media sosial, khususnya Instagram Stories. Contohnya, kreator TikTok @hyly.angie yang terkenal dengan kontennya dalam bahasa Jawa, seringkali mengunggah Instagram Stories untuk dirinya sendiri dan menontonnya berkali-kali. Kontennya ini viral dan disukai banyak orang, terbukti dari jumlah penonton, like, save, dan share yang sangat tinggi.
Bukan hanya di Indonesia, kreator luar negeri seperti @emilybrogann dan @xoxotatianaa juga membuat konten serupa. Mereka mengakui bahwa mereka mengunggah Instagram Stories agar bisa menontonnya berulang kali. Video @xoxotatianaa bahkan viral dan disukai lebih dari 600.000 orang!
Alasan Psikologis di Balik Self-Stalking
Tapi kenapa kita terobsesi nonton ulang Instagram Stories kita sendiri? Ada beberapa alasan psikologis yang mendasari kebiasaan ini:
1. Melihat Diri Kita dari Sudut Pandang Orang Lain
Psikolog Eloise Skinner, yang ahli dalam identitas eksistensial, menyebut kebiasaan menonton ulang konten kita sendiri sebagai "self-stalking." Menurutnya, kita ingin melihat diri kita dari sudut pandang orang lain karena kita tidak tahu bagaimana mereka sebenarnya melihat kita.
Kita ingin memahami persepsi orang lain tentang diri kita, karena itu membantu kita menjawab pertanyaan "siapakah saya?" Kita akhirnya menafsirkan pikiran dan pendapat orang lain dengan membayangkan apa yang mereka lihat di profil media sosial kita.
2. Mendapatkan Validasi Sosial
Psikolog Zoe Mallet setuju dengan Skinner. Dia berpendapat bahwa kita memiliki keinginan bawaan untuk mendapatkan penerimaan dan validasi sosial. Ini adalah upaya bawah sadar untuk meningkatkan status sosial kita, meningkatkan peluang diterima, dan menciptakan citra diri yang positif. Ini adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup kita sebagai manusia.
Upaya kita untuk mengendalikan persepsi orang lain tentang kita sudah ada jauh sebelum Instagram. Misalnya, memilih pakaian untuk suatu acara, atau apa yang kita katakan dalam percakapan. Media sosial hanyalah perpanjangan dari upaya tersebut.
3. Merasa Tidak Aman tentang Identitas Kita?
Self-stalking juga bisa muncul karena rasa tidak aman atau "insecure" tentang identitas kita. Kita mungkin membandingkan kehidupan digital kita dengan orang lain dan melihat apa yang kurang atau tidak kita sukai.
4. Bernostalgia dan Mencari Kepuasan
Namun, Skinner juga percaya bahwa keinginan untuk melihat kembali konten yang kita unggah adalah hal yang normal. Ini seperti membolak-balik album foto, jurnal, atau scrapbook. Media sosial bisa menjadi tempat menyimpan versi lama dari diri kita. Jadi, bernostalgia lewat media sosial bisa jadi hal yang positif dan bermanfaat.
Dampak Self-Stalking
Walaupun self-stalking bisa memotivasi atau menghibur, penting untuk tetap sadar akan dampaknya. Kebiasaan ini bisa membuat kita lebih kritis terhadap diri sendiri atau terjebak di masa lalu. Jika membuatmu merasa minder, mementingkan diri sendiri, atau teralihkan dari hal-hal yang ingin kamu lakukan, mungkin sudah saatnya untuk membatasi kebiasaan self-stalking.
Sebagai alternatif, kamu bisa fokus untuk menikmati konten orang lain, menjelajahi konten baru, atau bahkan menggunakan media sosial sebagai platform untuk belajar hal-hal baru. Penting untuk menggunakan media sosial secara sehat dan produktif, tanpa terjebak dalam lingkaran self-stalking yang bisa menguras waktu dan energi.